• Breaking News

    Monday, 5 February 2018

    Satu Hari Bersama Awi

    Kaki mulai karam menapak tanah pendakian. Hujan membuat basah semua semangat menggunung. Lembab memucat. Jangan, jangan jatuh. Tidak boleh! Tidak di hadapannya.Tidak boleh terjadi di hadapan seseorang yang kini memberiku senyuman langit. Tidak di hadapan laki-laki yang bersamanya aku ingin mengenal semesta. Tidak untuk pertama kalinya..
    Aku tidak punya alasan untuk terlihat manja pun terlihat lemah di hadapannya. Aku kuat dan mandiri. Dunia tahu itu. Aku tidak ingin dia tahu yang sebenarnya, bagaimana kondisiku waktu itu, berapa obat yang harus aku minum untuk bisa kuat berjalan selangkah di depannya.
    Yah, beberapa hari sebelum hari itu, lambungku terasa linu. Semua yang ku makan aku muntahkan. Maagku kambuh. Kata dokter, aku harus banyak istirahat dan minum obat. Dokter juga memberiku banyak sekali obat, baik obat lambung, anti mual dan vitamin. Tak lupa dokter juga memintaku untuk bedrest.
    Namun, malam itu aku dikejutkan seseorang. Awi, aku biasa memanggilnya. Dia ingin mengajakku ke puncak. Entahlah tidak mendung apa lagi hujan, tiba-tiba Awi ingin mengajak ku mendaki gunung. Memang itu bukanlah kali pertama Awi mengajakku ke gunung. Namun selalu batal. Entah dari aku maupun Awi yang cancel rencana itu.
    Meski begitu, aku berharap suatu saat bisa mendaki gunung, dan malam itu mendadak sekali, Awi mengajakku mendaki besok pagi. Aku tidak tahu bagaimana bisa aku mengiyakannya. Sedang kondisiku masih lemas dan harus bedrest.
    ***
    Subuh-subuh sekali aku bersiap mengemasi pakaianku ke dalam tas FILA berwarna hitam dengan kombinasi hijau toska. Tas itu jauh sekali dari standar tas-tasnya para pendaki. Tas itu pun tak bisa menampung banyak pakaian. Cukup satu setel baju, handuk dan alat perlengkapan mandi. Aku juga tidak lupa membawa sarung tangan dan kaos kaki seperti yang Awi minta.
    Pagi itu aku sudah siap berangkat. Namun, sebagai anak yang baik, aku harus mengikuti prosedur perizinan yang baik pula. Kalau tidak, aku bisa dikutuk jadi batu. Untuk mendapat izin dari ibuku, aku harus bisa menjawab pertanyaan 5W1H. Apa, siapa, kemana, dimana, kapan, kenapa, bagaimana? Yah aku rasa semua ibu begitu. Terlebih aku yang tidak pernah kemana-mana. Hidupku tidak pernah jauh dari kamar. Jangankan ke gunung yang jauh x tinggi= resiko, menginap di rumah teman saja aku tidak boleh. Jadi maklum sajalah kalau pertanyaannya banyak dan akhirnya makan beberapa menit dari perkiraan aku berangkat.
    Pukul 06.20 pagi aku keluar dari rumahku. Bersama sepupuku, aku diantar naik motor untuk sampai ke jalan raya. Disana aku harus naik angkutan umum untuk sampai di kota. Jarak antara desaku dan kota tidak terlalu jauh. Hanya 30-40 menit saja untuk bisa sampai ke kota. Tepat pukul 07.00 pagi aku sudah sampai di kota. Tiba disana, aku langsung menghubungi Awi untuk memberi tahu bahwa aku sudah sampai. Awi meminta ku untuk menunggu. Entahlah aku senang sekali kala itu, mendaki gunung adalah keinginanku dari lama. Tidak ada sedikitpun ketakutan, bahwa hari itu aku akan mendaki gunung bersama seorang laki-laki yaitu Awi.
    Awi, tidak banyak yang aku tahu darinya, selain kesan baik yang aku dapat selama kenal karena dikenalkan teman. Bertahun-tahun mengenalnya, aku tidak pernah benar-benar tahu bagaimana dia sebenarnya, karena hanya dua kali saja kita pernah bertemu sisanya dihabiskan dalam ruang chatting. Mungkin bisa dikatakan LDR atau ujung ke ujung kalau kata Awi bilang.
    Meskipun tidak banyak yang aku tahu tapi aku percaya Awi. Terdengar aneh memang, bagaimana mungkin aku percaya dengan apa yang tidak benar-benar aku tahu. Akupun menunggunya. Yang aku tahu menunggu adalah persoalan keyakinan, dan pagi itu aku meyakini Awi akan datang. Namun keyakinan itu pudar setelah aku mendapat kabar dari Awi.
    “Ayu, kamu langsung ke rumah temanku saja yah, aku takut kamu menunggu lama,” pesan dari Awi.
    Aku masih bungkam mendapati pesan itu. Aku tidak tahu, apa yang harus aku jawab. Ada sedikit kekecewaan itu. Seketika aku ingin membatalkan saja niatku untuk pergi. Namun, rasa kecewaku kalah banyak dengan rasa inginku untuk bisa lebih dekat dengan langit. Aku ingin sekali mendaki gunung.
    “Aku ngga tahu daerah sini Wi,” ku mengulang-ulang kata-kataku. “Aku harus naik apa untuk bisa sampai ke sana?” lanjutku.
    “Ay, kamu bisa naik angkot lalu turun di persimpangan,” Awi mulai mengarahkan jalan. “Lalu kamu naik mini bus, aku tunggu di masjid menara hijau depan alfamart,” lanjutnya.
    Mungkin itu adalah perjanjian terburuk yang pernah ada. Aku kecewa, tapi entahlah aku tetap saja mengikutinya. Awi tidak tahu ada rasa takut dan cemas sepanjang perjalanan itu. tak hentinya aku bertanya pada kondektur mini bus itu. Aku juga terus memastikan messenger ku on untuk aku bisa tetap berkomunikasi dengan Awi. Aku takut sekali ketika pesanku lama dibaca Awi. Takut nyasar. Aku juga takut aku tidak bertemu Awi. Tepatnya, aku takut dibohongi.
    Tempat itu asing, tapi dengan bantuan kondektur mini bus, sampailah aku di tempat Awi menungguku. Namun, menurunkan kakiku dari mini bus itu bukan berarti ketakutanku hilang begitu saja. Ketakutanku semakin menjadi.
    “ Dimana dia?” Gumamku dalam hati.
    “Awi, aku sudah sampai,” jariku sangat cepat mengirim pesan pada Awi. Tak lama setelah pesan itu ku kirim, Awi muncul dari dalam Alfamart. Dengan jaket hitam dan celana jeans, Awi berdiri dan melihat ke arahku. Awi tampak keren hari itu. Mendapatinya aku segera berjalan ke arahnya. Tak ada kata yang bisa aku ucapkan selain alhamdulillah.. Aku menemukannya.
    “Mau minum?” Awi mengawali pembicaraan.
    “Iya,” Awi langsung bergegas masuk dalam Alfamart membelikan air minum untukku.
    ***
    Rumah salah satu teman Awi tempat dimana teman-teman lainnya menunggu, rumah itu ternyata cukup jauh dari tempat aku bertemu Awi. Cukup jauh, melewati persawahan belum lagi Awi lupa jalan juga. Jadi bisa dipastikan kita terlambat. Awi berpikir mungkin sudah ditinggal teman-temannya duluan. Namun ternyata, tidak.
    Kira-kira pukul 10.00 pagi kami sampai di rumah teman temannya Awi. Tiba disana kami langsung disindir.
    “Hmm.. pantes aja telat, jemput temen” ujar teman-teman Awi ramai
    “Teman cewek yah”, Lanjut teman Awi yang akupun belum tahu namanya..
    Awi tidak merespon sama sekali sindirin itu, yang Awi lakukan setibanya di rumah itu adalah mengambil tasnya yang dibungkus pelindung hujan berwarna orange itu. Tas itu terlihat berat sekali. Aku tidak tahu apa saja yang Awi bawa di dalam tas itu.
    “Ayo kita berangkat,’ ajak Awi ke semua teman-temannya.
    Kami pun bergegas mempersiapkan keberangkatan kami. Tak lupa kami berdo’a terlebih dahulu dan pamit ke orang tua temannya Awi.
    ***
    Menit pertama perjalanan itu, aku masih sama sekali tidak menyangka bahwa hari itu aku akan hendak mendaki gunung. Aku berboncengan dengan Awi, bertemu dengan teman-teman baru dan itu laki-laki semua, kecuali satu perempuan yaitu Aidah pacarnya Ferli. Hari itu seperti mimpi tidur siang. Aku tidak pernah menyangka jalan dengan laki-laki sebanyak itu. Jujur aku tidak pernah punya temen laki-laki sebelumnya. Tapi aku seneng sekali, karena ternyata berteman dengan laki-laki itu seru, lebih-lebih mereka welcome denganku.
    Masih dalam perjalanan ke gunung, imajiku langsung liar menyeretku dalam gambar cantiknya alam pegunungan. Namun bayangan itu tiba-tiba punah seraya berhentinya motor Awi. Sruttt.....!! motor Awi berhenti.
    “Kenapa Wi?,” tanyaku selidik.
    “Ngga apa-apa, bannya kayanya sedikit kempes Ay.” Jawabnya.
    “Oo.. ya udah cari bengkel aja Wi,” ucapku. Dari awal berangkat kenapa yah, ada saja halangannya.” Gumamku dalam hati.
    Tak jauh dari tempat kami berhenti, terlihat ada bengkel. Disana Awi segera memarkirkan motornya di bengkel kecil dekat rumah warga itu. Tak butuh waktu lama, ban motor Awi sudah terisi angin dengan penuh. Namun sebentar saja, kami tertinggal jauh dari teman-teman.
    Tertinggal jauh dari teman-teman, Awi pun langsung gas motornya.
    “Ay, pegangan yah aku mau ngebut,” ucapnya singkat.
    “Haa?!” aku melongo mendengar apa yang dikatakan oleh Awi. Tidak mengiyakan, hanya diam dan bingung.
    “Ngeenggg....” Awi mengendari motornya dengan kecepatan tinggi.
    “Ay.. pegangan.. “, kata Awi lagi.
    Aku takut, tapi aku hanya bisa memegangi jaket Awi saja. Karena rasanya canggung sekali jika harus memegang tubuhnya. Meskipun memang mengerikan, jika teringat Awi  mengendarai motor sekencang itu. Jantungku seakan ingin lepas saat itu juga.
    Awi masih mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Aku tidak pernah berhenti bersholawat, untuk keselamatan kami di jalan. Beberapa kali aku menahan kakiku lebih kuat ketika Awi mendadak menginjak rem motornya. Itu aku lakukan untuk aku tetap menjaga jarak meski berada dalam satu motor.
    Aku sangat takut dengan jalan yang berkelok-kelok itu, curam dan naik turun. Akses jalan kesana pun banyak yang rusak. Namun itu tidak memupuskan rasa inginku untuk bisa menginjakan kaki di gunung Tampomas. Gunung dengan ketinggian 1.864 Mbpl.
    Sayang sekali, cuaca hari itu sedikit tak bersahabat. Gerimis langsung mengepung sesampainya kami tiba disana. Kami langsung mencari tempat berteduh, di salah satu post petugas parkirlah kami semua menunggu hujan reda. Sembari menunggu cuaca berbaik hati dan mereda tangisnya. Pop mie panas paling cocok untuk mengganjal rasa lapar kami yang dikepung hujan kala itu.
    Hujan sudah reda, perut pun sudah terisi. Waktunya pun sudah memanggil kami untuk sholat dhuhur. Kami pun langsung menuju mushala untuk menunaikan kewajiban kami. Satu persatu para laki-lakiku itu mengambil wudhu. Tak terkecuali Awi. Aku ingin sekali bisa jama’ah dengan mereka. Sayangnya aku sedang berhalangan. Siklus PMS saya memang datang diakhir atau di awal bulan. Hmm.. Sebenarnya tidak ada nyamannya sama sekali perpergian jauh ketika membawa tawa yang rutin datang setiap bulannya. Belum lagi kalau sedang unmood, terkadang tidak bisa terkontrol.
    ***
    Hmm.. Sejuk sekali melihat teman-teman sholehku berjama’ah. Ah sungguh salah ketika ada yang beranggapan bahwa pendaki jauh dari  shalat. Dipatahkan pada hari itu, aku melihat sendiri mereka tetap melaksanakan kewajibannya.
    Selesai sholat, kami langsung membuat lingkaran kecil. Kami breafing tentang apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama di jalur pendakian. Kami juga dituntut untuk kompak dan saling membantu satu sama lain. Mendaki tidak boleh ada kata egois. Ketika ada ada satu saja diantara kami yang kelelahan. Dari mendaki juga kita menjadi tahu siapa yang peduli dengan kita juga kita bisa melihat kualitas diri seseorang, apakah dia baik atau tidak.
    Sekitar pukul 13.30 WIB kami mulai menapaki tanah basah gunung tampomas yang baru saja diguyur hujan. Dengan penuh hati-hati kami menelusuri jalur-jalur pendakian itu. Belum sampai setengah jalan, hujan turun lagi dengan intensitas sedang, membuat kami berhenti sejenak untuk memakai jas hujan yang sudah kami masing-masing.
    Ada yang manis saat itu, saat Awi menawarkan jas hujannya kepadaku. Sederhana tapi membuatku tersentuh.
    “Ay.. pake jas hujan aku saja, jas hujan kamu tipis banget”, kata Awi.
    “Ngga apa-apa Wi”, kataku.
    “Udah tukeran saja”, Awi menawarkannya lagi.
    “Ngga usah Wi, beneran ngga apa-apa”, aku menolaknya.
    “Ya sudah”, Awi mengalah.
    Yah memang sih sebenarnya aku tidak membawa jas hujan. Demi simple  aku memilih membawa sarung plastik sekali pakai yang berbentuk baju yang aku beli di Alfamart sewaktu masih di rumah. Sangat jauh dari standar. Seperti yang aku sampaikan di awal. Ini mendadak sekali, jelas saja jika minim persiapan.
    ***
    Hujan membuat tanah menjadi licin. Tentu ini berbahaya sekali bagi kami. Kami harus ekstra hati-hati. Dalam hati aku tak henti bersholawat. Berharap aku kuat dan tidak terjadi apa-apa. Sebenernya aku takut sekali perutku kambuh diperjalanan. Bagaimana jadinya jika hal terjadi, mungkin akan mengacaukan semua. Aku tidak ingin merepotkan Awi. Sama sekali aku tidak ingin. Aku pernah semenitpun aku berhenti berdo’a. Semoga aku bisa sampai di puncak dengan selamat. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
    Ahh.. kakiku tiba-tiba menekuk. Otot kakiku rasanya ketarik semua. Sakit sekali kakiku. Kakiku kram. Aku berusaha untuk mengatasi rasa sakitku sendiri. Namun yang ada aku tidak bisa menyembunyikan rasa sakitku.
    “Arrrghh !!” aku mengerang kesakitan sambil tanganku memegangi kakiku yang keram.
    “Wi, itu kaki Ayu keram,” Saut Nio memanggil Awi. Awi pun langsung medekatiku. Awi juga memintaku untuk meluruskan kakiku lalu Awi memijat kakiku. Duhh aku malu sekali.
    “Gimana, udah baikan?.” Tanya Awi.
    “Belum... ”  Sambil merengek ingin nangis bak anak kecil yang minta dibelikan permen.
    “Masih sakit?”, tanya Awi.
    “ Iya”, sambil merengek
    “Hussssttt..” Awi mengingatkan aku dengan jari telunjuknya. “Jangan nangis Ay,” lanjutnya. Sesaat itu aku langsung terdiam malu. Sementara Awi masih memijat-mijat kakiku yang masih keram.
    “Gimana Ay?” tanya Awi lagi.
    “Mendingan Wi makasih,” aku berusaha mencoba berdiri dengan dibantu Awi yang berada di sampingku.
    “Wi, gendong aja,” ledek Nio.
     “Aku bawa gendongan Ay, ngga bisa gendong kamu”,  Kata Awi.
    “Duuh Nio bikin aku tambah malu saja,  siapa juga yang ingin digendong”, gumamku dalam hati.
    “Gimana kalau digendong Adit Ay?”  tanya Awi.
    “Nggak usah Wi, aku bisa”, ko bisa-bisanya bepikir begitu. Aku masih kuat ko.
    “Haduuh.. kakiku masih sakit,” gumamku dalam hati. Jangan sampai Awi tahu kalau sebenarnya kakiku masih sakit untuk berjalan. Tapi aku kuat-kuatin saja.
    Dengan kaki yang masih sedikit kram, aku melanjutakan pendakian. Medan pendakiannya semakin sulit saja. Beberapa kali kami salah arah, menemukan jalan buntu, pohon tumbang, tergelincir dan banyak hal yang terjadi disana. Benar sekali mendaki itu butuh kerja sama. Awi selalu membatu selama disana. Sampai botol minum saja, yang tidak ada berat-berat Awi ingin membwakan supaya aku tidak repot. Padahal kalau masalah repot, jelas Awilah. Tas besar yang dibawa itu juga berat sekali. Meski cuaca dingin aku melihat keringat dibagian pelipis wajahnya. Aku kasihan melihatnya. Seringnya aku meminta yang minta berhenti sejenak. Bukan karena aku lelah, tapi aku ingin dia istirahat.
    Setelah berjam-jam kami post demi post kami lewati. Alhamdulillah.. kami sudah berada di post 5. Itu artinya sebentar lagi sampai di post terakhir (post 6). Di post 5 kami niatkan untuk istirahat yang cukup. Karena post 6 katanya semakin menanjak, curam dan pastinya berbahaya. Salah sedikit saja bisa-bisa kami jatuh ke jurang. Kami harus benar-benar mengumpulkan energi. Semua membuka ransel masing-masing, mengecek masih adakah persedian yang bisa kami makan untuk menambah amunisi.
    Disana juga juga kami banyak menemukan pendaki lain yang juga sedang beristirahat. Tak jarang kami bertegur satu sama lain. Kami juga saling berbagi makanan. Tak ada canggung meski baru saling kenal. Yah, mendaki mengajarkan arti berbagi dan kebersamaan.
    Dari post 5 kami langsung bergegas melanjutkan perjalanan menuju post ke 6. Berjam-jam di jalur pendakian bersama Awi. Aku dan Awi banyak terlibat pembicaraan. Aku menikmati sekali pembicaraan dengannya. Awi cukup asik. Dia juga bisa sekali membuatku tersenyu.
    Pertama kalinya mendaki, Aku merasa Awi sangat menjagaku. Awi selalu mendahulukan aku. Membantuku untuk bisa naik dengan uluran tangannya. Tak jarang aku melihat dia kelelahan dengan beban berat yang gendongnya. Itu terlihat sekali, ada sungai-sungai kecil terbentuk di wajahnya. Hmm kasihan sekali. Aku ingin mengusap keringatnya. Tapi.. ahhh tidak sepatututnya aku berpikir begitu. Aku takut salah. Aku tidak boleh membawa perasaan di gunung.
    Disana aku merasa mulai menyukai Awi. Yah mungkin karena situasi juga yang membuatku bawa perasaan. Tidak salah juga kalau aku menyukainya. Awi memang tipe laki-laki yang sangat mudah disukai orang. Dia baik, ramah sekali, care dengan teman-temannya. Aku rasa siapapun orangnya yang kenal Awi pasti menyukainya.
    ***
    Setelah 4 jam berlalu, akhirnya kami sampai juga di post 6. Disana kami berhenti sejenak untuk melepas lelah dan tak ketinggalan juga aku dan Awi mengabadikan gambar yang sayang sekali dilewatkan begitu saja. Aku melihat awan begitu dekat. Dalam benakku berkata, apa ini pemandangan Allah setiap harinya? Apa ini yang membuat Allah Maha pemaaf? Karena, bumi ini selalu indah bagi Allah. Barangkali begitu.
    Puas mengambil gambar di post 6 kami pun melanjutkan perjalan kami yang selangkah lagi menuju puncak gunung Tampomas. Dan tak butuh waktu lama akhirnya kami sampai juga di puncak gunung. Disana sudah banyak sekali pendaki yang lebih dulu sampai. Hal yang pertama sesampainya di puncak adalah tempat untuk memasang tenda. Kami sempat kesulitan menemukan tempat yang kosong, karena percaya atau tidak, disana penuh sekali pendaki. Yah mungkin karena hari libur.
    Setelah keliling, akhirnya kami menemukan lokasi yang dianggap layak untuk kami bermalam, Awi pun langsung membonkar tasnya itu. pantesan berat sekali, segala macam perlengkapan kemah dia bawa. Awi prepare sekali sepertinya. Yah mungkin karena Awi sudang sering mendaki gunung, jadi Awi tahu apa-apa saja yang perlu dibawa. Supaya semua kebutuhan selama bermalam disana bisa tercover dengan baik tidak kekurangan apapun.
    Selama menunggu Awi dan teman-teman memasang tenda. Aku dan Aidah duduk manis saja, sesekali saja membantu. Selebihnya laki-laki yang menghandle. Cuaca sore itu cukup dingin, angin disanapun cukup kencang ditambah kabut yang mulai tebal, karena hari mulai gelap. Dingin sekali, berkali-kali aku mengosok-gosok tanganku berharap sedikit menjadi hangat. Alhamdulillah tak lama kemudian tendanya sudah siap untuk kami tempati.
    Wah.. Amazing, hari itu aku bisa bermalam di puncak gunung. Pengalaman yang tidak mungkin bisa terlupakan. Malam itu juga sebelum tidur Awi memasak air untuk membuat kopi, Awi juga masak Mie Instan. Tas Awi saat itu seperti kantong doremon saja. Lain dengan tas aku, tidak ada makanan satupun. Apa jadinya aku kalau tanpa Awi. Bisa mati kedinginin disana, hehe.
    Tak banyak yang kami lakukan malam itu selain kami hanya butuh segera tidur karena lelah. Namun, malam itu sulit sekali untuk aku bisa tidur. Aku takut Aidah menangis terus minta pulang. Susah untuk ditenangkan. Sempat horror dengan Aidah yang seperti itu. Demi apapun bukannya aku tidak peduli, tapi aku takut mendengar orang menangis malam-malam, horror. Untungnya Ferli pacar Aidah sabar dan bisa sekali menenangkan Aidah sampai akhirnya berhenti menangis dan tertidur. Lega rasanya aku jadi bisa tidur juga.
    Malam itu aku tak benar-benar terlelap. Beberapa kali aku terbangun dari tidur. Setiap kali aku terbangun, aku melihat Awi belum tidur.
    “Wi kamu belum tidur?”, tanyaku.
    “Iya duluan aja”, Jawabnya
    Aku mencoba kembali tidur, dan lagi-lagi aku terbangun, aku tengok lagi Awi. Ya Allah.. aku melihat Awi tidur dengan posisi duduk. Bisa begitu yah. Meskipun kasihan tapi aku tidak ingin membangunkannya. Takut daia baru bisa tidur. Aku pun kembali melanjutkan tidurku. Untuk kesekian kalinya aku terbangun. Aku terpaksa membangunkannya.
    “Wi, Awi” aku berusaha membangunkan Awi.
    “Kenapa Ay”, Awi terbangun.
    “Anterin aku buang air kecil Wi aku takut”, pintaku. Awi bergegas bangun dari tidurnya dan mengantarku.
    Jam 22.00 terlalu sepi masih banyak tenda yang masih menyala lampunya. Dan masih ada juga yang masih bermain gitar sambil bernyanyi.
    “Wi, terima kasih yah?, sambil tersenyum, dan Awi mengangguk.
    Kami pun kembali ke tenda untuk melanjutkan tidur. Sekitar jam 03.00 pagi aku terbangun lagi. Kali ini aku terbangun karena perutku sakit sekali.  Ya Allah sakit sekali. Aku langsung mencari biskuit untuk aku makan. Alhamdulillah setelah itu perutku tidak sakit lagi.
    Saat itu aku baru sadar mengenai satu hal tentang selimut. Aku merasa tidur tidak memakai selimut, hanya hanya pakai sarung. Karena aku memang hanya membawa itu. Apa Awi? Mungkin kali yah. hmm
    Setelah itu aku tidak bisa tidur lagi, aku hanya duduk-duduk saja di tenda. Sambil dengerin rintik hujan dari dalam tenda. Berharap hujan reda saat pagi subuh nanti. Aku ingin sekali liat sunrise diketinggian. Pasti keren.
    ***
    Hujan pagi itu sudah reda, aku buka tenda sudah ramai sekali pendaki yang mungkin sama ingin menyaksikan sunrise dari ketinggian. Sayang pagi itu kami semua tidak beruntung. Matahari tertutup awan dan kabut pun sangat tebal.
    Tapi wow! Pemandangan pagi itu masih indah sekali. Aku masih tidak menyangka. Kakiku tepat berdiri di puncak gunung Tampomas dengan ketinggian 1.684 dari permukaan laut. Wuihh.. Sentuhan anginnya langsung terbang di wajahku mengajakku menari-nari. Hijau panorama sumedang dan birunya langit di sana. Cantik sekali. Tak hentinya aku bersyukur atas indahnya Maha karya sang pencipta Allah SWT.
    Hari itu, semesta seraya menujukan dirinya kepadaku. Bahwa selama ini aku melewatkannya. Bahwa selama ini aku tidak tahu apa-apa. Bahwa mungkin aku orang yang merugi. Bahwa betapa Tuhan telah menciptakan begitu banyak keindahan alam untuk bisa dinikmati. Bahwa dunia ini begitu luas untuk bisa aku jelajahi. Bukan hanya hidup dalam jendela kamar dengan pemandangan yang itu-itu saja.
    Terima kasih Tuhan.. atas kesempatan hingga aku bisa berada di puncak tertinggi di Sumedang, aku merasa aku lebih dekat dengan langit, dengaMu.
    Terima kasih juga untuk Awi yang sudah mengenalkan aku pada alam. Mengenalkan bahwa dunia itu indah. Bahwa banyak hal yang tidak aku tahu di luar sana. Awi.. terima kasih banyak.

    By: Riyuni Kiel
    FB: Riyuni Kiel
    IG: @riyunikiel
    WA: 0895337221008

    Email:riyunimanis@gmail.com

    No comments:

    Post a Comment

    Fashion

    Beauty

    Travel