Wadi Nuryadi adalah laki-laki sederhana yang ku kenal tiga tahun yang
lalu. Kami dipertemukan dalam sebuah ruang kelas di sebuah sekolah swasta
di Indramayu. Dia adalah satu-satunya laki-laki yang pendiam masa itu. Dia
bukan sosok yang keren menurutku. Namun dia nampak cerdas. Pembawaannya yang
tenang memberikan kesan bahwa dia adalah laki-laki yang cukup dewasa. Dia
mempunyai sorot mata yang tajam, senyum yang menawan. Dia tidak sarkastik. dia
punya daya tarik.
Dia ramah. Dia
suka teknologi. Dia terlihat begitu serius sekali ketika berada depan komputer.
Apapun yang mengenai komputer dia suka. Jadi tidaklah heran ketika nilai TKJ (Teknik Komputer dan Jaringan) dia cukup unggul di kelas kalah itu.
Dia juga suka politik. Dia begitu antusias sekali ketika membahas mengenai
pemerintahan di negeri ini.
Dan kenalkan
namaku adalah Riyuni Kiel. Aku bisa dibilang cukup rame dikelas masa itu. Aku
suka sekali membuat cletukan-cletukan yang terkadang membuat kelas menjadi
ramai. Berbanding terbalik sekali dengan Wadi Nuryadi yang pendiam. Yang biasa
aku bilang, dia seperti punya dunia sendiri. Itulah kesan pertama yang aku
tangkap ketika pertama kali aku melihatnya. Tak jarang dia asik sendiri dalam
kelas. Ketika semuanya keluar untuk kekantin menghabiskan waktu istirahat. Yah
begitulah dia, dengan apa adanya dia.
Berawal dari tugas
kelompok, kita mulai saling bicara. Dia baik, dia mau mengajariku tentang apa
yang tidak ku mengerti mengenai tugas yang sedang kami kerjakan kala itu. Tak
jarang kita pun juka berkomunikasi lewat udara. Dia nyambung. Dia asik. Aku
senang bicara dengannya. Eeets…tapi tidak untuk membiarkan kata cinta masuk
dalam keakraban kami. Karena aku belum siap bermain dengan kata itu. Aku baru
saja sakit. Luka pun belum sembuh betul.
Bel sekolah sudah
berbunyi, tak lama kemudian satu persatu temen-temen keluar kelas untuk ke
kantin. Ketika itu ku lihat Adi sedang diam berdiri di pintu kelas. “Dor!” aku
mengagetkan dia dari belakang. Kemudian Adi menolehkan wajahnya ke arahku
dengan wajah kagetnya dan kemudian tersenyum.
“ Ngelamun
aja” tanyaku mengawali pembicraan. Namun dia hanya membalas dengan tersenyum.
Agak kikuk sih. Tapi aku coba lagi mengajak dia bicara.
“Kekantin yuk”
ajakku. Dia hanya menggelengkan kepala.
“Ayoooo” ajakku
lagi sembari menarik tangannya. Akhirnya Adi pun mau kekantin bersamaku.
Ketika selesai
dari kantin. Teman-teman memandangi kami berdua.
“Cie…Cie….”
Sorakan ramai teman-teman.
Tanpa formasi kami
langsung memisahkan diri. Oh my god… Rasanya malu sekali. Dan aku rasa Adi pun
begitu. Setelah kejadian itu Aku dan Adi jadi sering jadi bulan-bulanan
temen-teman di kelas. Guru-guru pun terkadang menjodoh-jodohkan kami. Sempat
risih juga sih. Tapi akhirnya aku terbiasa akan hal itu. Aku dan Adi sama
sekali tidak keberatan akan hal itu.
Dengan berjalannya
waktu kami jadi semakin akrab. Kami jadi sering bicara. Kami bercanda bersama
dan aku banyak mengahabiskan waktu bersamanya. Pelan-pelan aku masuk dalam
kehidupannya. Dia… memang berbeda. Dia tak seperti teman-temannya yang angkuh,
yah.. bukan aku berprasangka buruk, namun memang kesan itulah yang selalu
nampak terpampang nyata di mataku, seperti sengaja mengkotakan siapa mereka.
Tapi itu sih memang hak masing-masing mau berteman dengan siapa. Seperti halnya
aku dengan Gurytaku (Teman-temanku).
*****
Siang itu ketika
riuh suara senang menyambut waktu pulang. Satu-persatu teman-teman keluar dari
kelas. Aku yang hendak pulang, tiba-tiba pikiranku terkontaminasi wabah galau
yang cukup akut. Antara iya atau tidak.. Karena aku belum sempat menjawab
pertanyaannya. yah.. Malam itu, tepatnya sabtu dia mengatakan perasaanya pada
ku. Malam itu aku sungguh bingung, haruskah aku menerimanya? aku belum siap. Hingga dsiangnya aku masih di selimuti demam
kebingungan. Aku harus jawab apa? terima atau tidak. Kaki terasa berat
melangkah, mulutku membungkam aku tidak ingin menggantung seseorang atau menyekati seseorang yang jelas-jelas menyukaiku. Hufft! Nyebelin! Adi nampak santai mengangkat bangku,
karena kebetulan memang dia dapet jadwal piket hari itu. Aku tak bisa membaca
pikirannya. nggak tahu apakah dia menunggu jawabanku atau tidak. Namun
dia sering kedapatan memandingiku secara diam-diam. Huuft! It’s so confuse for
me.
Akhirnya aku
putuskan untuk bergegas meninggalkan kelas, dan aku pikir tak perlu untuk aku
menjawab. Aku tidak mau menggantungkan persaan orang yang begitu baiknya
pada ku. Namun aku bingung, aku pun memutuskan untuk segera pulang. Namun
ketika aku baru sampai pintu kelas, entah kenapa aku balikan badan ku dan aku
panggil namanya “Adi” . Mendengar namanya ku sebut dia pun melihat ke arahku.
Sejenak aku terdim, lalu ku bilang “YA”. Dia nampak tersenyum, setelah ku
bilang “YA”. dia cukup mengerti apa maksud dari kata Ya itu. Kemudian dia
mendekatiku, kami saling melemparkan senyum. Oh my God.. jadi kikuk.
Dia masih nggak
percaya aku bilang “YA”. “INI BENERAN? “ Ucap adi memastikan. “YA” tegasku sembari tersenyum. Dia nampak masih terdiam, namun
tetap membiarkan senyumnya mengembang di wajahnya.
:)
Selamat Jadian...
04 Desember 2010
No comments:
Post a Comment