• Breaking News

    Saturday, 17 June 2017

    Satu Hari Bersama Awi

    Kaki yang karam menapak tanah pendakian. Hujan yang tak kunjung mereda, membuat basah semua semangat yang menggunung. Hampir tak bisa lagi dibedakan, keringat dan air hujan sudah menyatu, memeluk erat tubuh yang kedinginan. Jangan, jangan sampai jatuh. Tidak boleh! Tidak di hadapannya.
    Tidak boleh terjadi di hadapan seseorang yang kini memberiku senyuman langit. Tidak di hadapan laki-laki yang mengajakku mendaki untuk pertama kalinya. Tidak di hadapan laki-laki yang bersamanya aku ingin mengenal semesta.
    Aku tidak punya alasan untuk terlihat manja pun terlihat lemah di hadapannya. Aku hanya ingin terlihat kuat dan mandiri. Dia tak harus tahu yang sebenarnya, tentang berapa obat untuk aku bisa kuat berjalan selangkah di depannya.
    Beberapa hari sebelum hari itu, lambungku terasa linu. Hampir semua yang aku makan ku muntahkan. Aku lemas. Kata dokter, aku harus banyak istirahat dan minum obat. Banyak sekali obat yang harus aku minum,  baik obat lambung, anti mual dan vitamin.
    Namun, malam itu aku dikejutkan oleh ajakan seseorang. Awi, aku biasa memanggilnya. Dia ingin mengajakku ke puncak. Mendadak sekali besok pagi harus segara meluncur. Aku tidak tahu bagaimana bisa aku mengiyakannya. Sedang kondisiku masih lemas dan butuh banyak istirahat.
    ***
    Pagi itu aku menunggu Awi di tempat yang sudah kita sepakati. Entahlah, aku semangat sekali untuk mendaki. Mungkin karena memang sudah menjadi mimpiku sedari lama bahwa aku ingin sekali mendaki gunung. Tidak ada sedikitpun ketakutan, bahwa hari itu aku akan mendaki dengan seorang laki-laki. Bahwa hatiku berkata Awi adalah laki-laki baik, meskipun aku mengenalnya dari seorang teman, juga baru dua kali saja aku bertemu dengannya setelah berteman lama di jalur udara.
    “Nay, kamu langsung ke rumah temanku saja yah, aku takut kamu menunggu lama,” pesan dari Awi.
    Aku masih bungkam mendapati pesan itu. Aku tidak tahu, apa yang harus aku jawab. Ada sedikit kekecewaan di batinku. Seketika itu aku ingin membatalkan niatku untuk pergi. Namun, pikirku ini adalah kesempatan dari sebuah mimpi untuk bisa lebih dekat dengan langit.
    “Aku nggak tahu daerah sini Wi,” ku mengulang-ulang kata-kataku. “Aku harus naik apa untuk bisa sampai ke sana?” lanjutku.
    “Nay, kamu bisa naik angkot lalu turun di persimpangan,” Awi mulai mengarahkan jalan. “Lalu kamu naik mini bus, nanti aku tunggu di masjid menara hijau tepat di depan jalan raya,” lanjutnya.
    Itu adalah perjanjian yang terburuk sepanjang hidupku. Tapi, entahlah aku tetap saja mengiyakannya. Dia tidak tahu ada detak ketakutan dalam jantungku. Kecemasan dalam dadaku. Sepanjang perjalanan aku harus meyakinkan diriku bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan atau ditakuti. Bahwa sepanjang perjalanan aku harus bersiap untuk setiap kemungkinan yang membuatku akhirnya kecewa. Bisa saja aku tak bertemu dengan Awi.
    Dengan dibantu kondektur mini bus, sampailah aku di tempat Awi menungguku. Menurunkan kaki dari mini bus semakin membuat ketakutanku menjadi-jadi. Awi belum tertangkap pandanganku. “ dimana dia?” Gumamku dalam hati. “Awi, aku sudah sampai,” jariku sangat cepat mengirim pesan padanya. Tak lama setelah pesan itu ku kirim, Awi berdiri tepat di hadapanku. Tak ada kata yang ku ucapkan selain hanya tersenyum lega bisa bertemu dengannya.
    “Mau minum?” Awi mengawali pembicaraan.
    “Iya,” singkatku. Awi langsung bergegas masuk dalam Mini Market membeli minuman untuk bekal kami di jalan.
    ***
    Di rumah itu, nampak banyak teman-teman Awi yang terlihat bosan menunggu. Terlihat sekali dari mereka yang pada gluntungan di teras rumah, juga respon mereka yang sangat sedikit menyindir setelah tahu Awi terlambat karena menjemputku.
    “Hmm.. pantes aja telat,” ujar teman-teman Awi ramai
    “Iya maaf, telat,” ucap Awi dengan nada rendah. “Ayo kita berangkat,’ Lanjutnya.
    Kami pun bergegas mempersiapkan keberangkatan kami. Tak lupa kami berdo’a terlebih dahulu dan berpamitan dengan orang tua temannya Awi.
    Menit pertama perjalanan kami, aku masih tidak menyangka bahwa hari itu aku akan hendak muncak. Teman-teman yang baru aku temui hari ini seperti mimpi tidur siang. Aku bahagia bisa kenal dengan teman-teman baru. Lebih-lebih mereka yang welcome sekali denganku.
    Hmm menit-menit berikutnya di perjalanan, imajiku langsung membawaku dalam pesona cantiknya alam pegunungan yang sebentar lagi akan aku temui. Namun bayangan itu tiba-tiba punah seraya berhentinya motor Awi. Sruttt.....!! motor Awi berhenti.
    “Kenapa Wi?,” tanyaku selidik.
    “Nggak apa-apa, bannya kempes Nay.” Jawabnya.
    “Oo.. ya udah cari bengkel aja Wi,” ucapku. Dari awal berangkat kenapa yah, ada saja halangannya.” Gumamku dalam hati.
    Tak jauh dari tempat kami berhenti, terlihat ada bengkel. Di sana Awi segera memarkirkan motornya di bengkel kecil dekat rumah warga itu. Tak butuh waktu lama, ban motor Awi sudah terisi angin dengan penuh. Namun sebentar saja, kami tertinggal jauh dari teman-teman.
    Tertinggal jauh dari teman-teman, Awi pun langsung gas motornya dan melesat jauh.
    “Nay, pegangan yah aku mau ngebut,” ucapnya singkat.
    “Haa?!” aku melongo mendengar apa yang dikatakan oleh Awi. Tidak mengiyakan pun menolaknya. Hanya diam dan bingung.
    Mengerikan sekali. Aku tidak menyangka Awi bisa mengendarai motor sekencang itu. Bayangkan saja, dia mengejar ketinggalannya dari teman-teman, sementara aku menahan ketakutan di belakangnya. Jantungku seakan ingin copot. Memang, dia memintaku untuk berpegangan. Tapi aku tidak melakukannya. Aahhhh ya mana mungkin aku memegangnya. Mana bisa aku melakukannya, malu sekali. Aku tidak terbiasa berboncengan sama laki-laki, apa lagi harus pergegangan. Dengan sesama perempuan saja tidak ada istilah naik motor berpegangan.
    Awi masih mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Membuat pesona hijaunya sawah tak sempat aku nikmati. Sepanjang dia debut di jalan Sumedang. Aku tak pernah berhenti bersholawat. Sesekali menahan kakiku lebih kuat untuk menopang tubuhku agar tidak sampai menempel dengan tubuh Awi. Aku sangat takut dengan jalan yang berkelok-kelok itu, curam dan naik turun. Tak jarang kami menemukan jalan rusak yang membuat sesak perut kami.Namun bersamaan dengan itu aku merasa lega, ketika aroma basah puncak gunung Tampomas sumedang sudah semakin dekat kami rasakan.
    Sayang sekali, cuaca hari itu sedikit tak bersahabat. Gerimis langsung mengepung sesampainya kami tiba di sana. Kami bergegas meneduh di salah satu post petugas parkir. Sembari menunggu cuaca berbaik hati dan mereda tangisnya. Mungkin Pop mie panas paling cocok untuk mengganjal rasa lapar kami yang dikepung hujan.
    Hujan sudah berhenti, kami langsung menuju mushala untuk melangsungkan kewajiban kami. Satu persatu para laki-laki sholeh itu mengambil wudhu. Tak terkecuali Awi. Sayang aku tidak bisa ikut jama’ah bersama mereka. Aku ingin sekali menjadi makmum di antara mereka. Dari dua perempuan yang ikut muncak, keduanya berhalangan. Hmm.. Sebenarnya tidak ada nyamannya sama sekali perpergian jauh ketika membawa tawa yang rutin datang setiap bulannya. Belum lagi kalau sedang unmood, terkadang tidak bisa terkontrol. Bawahannya bete terus.
    ***
    Hmm.. Sejuk sekali melihat teman-teman sholehku berjama’ah. Ah sungguh salah ketika ada yang beranggapan bahwa pendaki jauh dari  shalat. Dipatahkan pada hari itu, aku melihat sendiri mereka tetap melaksanakan kewajibannya dimanapun mereka berada. Tidak ada alasan untuk meninggalkan shalat bukan?
    Selesai sholat, kami langsung membuat lingkaran kecil. Kami breafing tentang apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama di jalur pendakian. Kami juga dituntut untuk kompak dan saling membantu satu sama lain. Aku pernah mendengar bahwa saat mendaki kita bisa tahu kualitas seseorang, apakah dia baik atau tidak, itu akan terlihat saat dia mendaki. Dalam mendaki dibutuhkan kerja sama. Karena dalam mendaki tidak boleh ada kata egois.  kekompakan adalah kunci keberhasilan dalam suksesnya para pendaki. Maka ketika ada salah satu yang kelelahan, semuanya harus beristirahat.
    Sekitar pukul 13.30 WIB kami mulai menapaki tanah basah gunung tampomas yang baru saja diguyur hujan. Dengan penuh hati-hati kami menelusuri jalur-jalur pendakian. Belum sampai setengah jalan, hujan turun kembali dengan intensitas sedang, membuat kami berhenti sejenak untuk mengenakan jas hujan yang sudah kami siapkan.

    Kami melanjutkan pendakian, semakin ke atas semakin tidak mudah. Terlebih hujan yang membuat tanah menjadi jalan menjadi semakin licin. Kami harus ekstra hati-hati untuk bisa sampai ke puncak. Dalam hati aku tak henti bersholawat. Berharap aku kuat dan selamat sampai kembali dari sana
    ***
    Ahh.. kakiku tiba-tiba menekuk. Otot kakiku rasanya ketarik semua. Kakiku keram!!! Aku berusaha untuk mengendalikan kakiku sendiri. Namun kakiku tak kunjung membaik. Dan rasanya hanya semakin sakit.
    “Arrrghh !!”  aku mengerang kesakitan sambil tanganku memegangi kakiku yang keram.
    “Awi, itu kaki Nayu keram,” Saut Jonas memanggil Awi. Awi pun langsung membantuku untuk meluruskan kakiku dan memijatnya.
    “Gimana, udah baikan?.” Tanya Awi.
    “Belum...”  Sambil merengek ingin nangis bak anak kecil yang minta dibelikan permen.
    “Hussssttt..” Awi mengingatkan aku dengan jari telunjuknya. “Jangan nangis Nay,” lanjutnya. Sesaat itu aku langsung terdiam malu. Sementara Awi masih memija-mijat kakiku yang masih keram.
    “Gimana Nay?” tanya Awi lagi.
    “Mendingan Wi makasih,” aku berusaha mencoba berdiri.
    “Wi, gendong aja,” ledek Jonas
    “Aku bawa gendong, aku bawa tas berat”.  “Mau digendong Adit?”  tanya Awi memastikan.
    “Nggak usah Wi, aku bisa,”
    Hmm.. lagian siapa juga siapa yang ingin digendong. Ingin disembunyikan di mana hijabku kalau aku di gendong laki-laki.
    “Haduuh.. kakiku masih sakit,” gumamku dalam hati.
    Dengan kaki yang masih sedikit keram, aku melanjutakan pendakian. Semakin sulit saja untuk sampai ke atas. Tak jarang kami salah arah, menemukan jalan buntu, jalan yang terhalang pohon tumbang, jatuh  dan sebagainya. Kerja sama memang sangat dibutuhkan dalam mendaki. Tidak ada yang boleh egois sendiri. Karena sekali egois maka semua bisa dalam bahaya.
    Setelah berjam-jam kami melampaui post demi post. Sampailah kami di post 5. Alhamdulillah sebentar lagi sampai di post terakhir. Di post 5 kami niatkan untuk istirahat yang cukup. Karena post berikutnya semakin curam dan berbahaya. Salah sedikit saja bisa-bisa kami jatuh ke jurang. Kami harus benar-benar mengumpulkan energi. Sesekali membuka ransel kami, mengecek masih adakah persedian yang bisa kami makan untuk bisa menggjal lelahnya mendaki gunung. Di post 5 juga kami banyak menemukan pendaki lain yang juga sedang beristirahat. Tak jarang kami bertegur satu sama lain. Kami juga saling berbagi makanan. Begitulah, mendaki mengajarkan arti berbagi dan kebersamaan.
    Setelah dirasa cukup kami pun melanjutkan petualangan. Berjam-jam di jalur pendakian. Aku dan Awi banyak terlibat pembicaraan. Aku menikmati sekali pembicaraan dengannya. Aku merasa Awi sangat menjagaku dengan baik. Awi selalu mendahulukan aku. Membantuku untuk bisa naik dengan uluran tangannya. Tak jarang aku melihat dia kelelahan dengan beban berat pada ransel yang dibawanya. Itu terlihat sekali, ada sungai-sungai kecil terbentuk di wajahnya meskipun udara cukup dingin. Hmm kasihan sekali. Aku ingin mengusap keringatnya. Tapi.. ahhh tidak. Aku takut salah. Aku tidak boleh bawa perasaan di gunung. Aku bersamanya murni ingin muncak. Mungkin Awi juga hanya murni mengajak. Just it!
    "Haduh... ngomong apa sih aku ini."
    ***
    Akhirnya kami sampai juga di puncak gunung Tampomas. Di sana sudah banyak para pendaki yang lebi dulu sampai.
    Wow!! Aku masih tidak menyangka. Kakiku tepat berdiri di puncak gunung Tampomas dengan ketinggian 1.684 dari permukaan laut. Wuihh.. Sentuhan anginnya langsung terbang di wajahku mengajakku menari-nari. Hijau panorama sumedang dan birunya langit di sana. Cantik sekali. Tak hentinya aku bersyukur atas indahnya Maha karya sang pencipta Allah SWT.
    Hari itu, semesta seraya menujukan dirinya kepadaku. Bahwa selama ini aku melewatkannya. Bahwa selama ini aku tidak tahu apa-apa. Bahwa mungkin aku orang yang merugi. Bahwa betapa Tuhan telah menciptakan begitu banyak keindahan alam untuk bisa dinikmati. Bahwa dunia ini begitu luas untuk bisa aku jelajahi. Bukan hanya hidup dalam jendela kamar dengan pemandangan yang itu-itu saja.
    Terima kasih Tuhan.. atas kesempatan hingga aku bisa berada di puncak tertinggi di Sumedang, aku merasa aku lebih dekat dengan langit, dengaMu.
    “Nay,” Awi membangunkanku dari takjub.
    “Iya.”
    “Nanti saja ambil gambarnya, kita bikin tenda dulu nanti keburu gelap.” Ujarnya.
    “Oo.. iya wi.”
    Waktu menunjukan pukul 17. 30. WIB. Kami pun mencari tempat untuk kami bisa segera memasang tenda kami di sana.
    “teman-teman di sini,” suara salah satu teman Awi menunjukan tempat kosong untuk kami bisa memasang tenda.
    Tak butuh waktu lama, kami segera meluncur ke sumber suara. Kami juga langsung memasang tenda demi tenda untuk kami bisa bermalam di sana.
    *ALHAMDULILLAH*

    No comments:

    Post a Comment

    Fashion

    Beauty

    Travel