Kaki yang karam menapak tanah
pendakian. Hujan yang tak kunjung mereda, membuat basah semua semangat yang
menggunung. Hampir tak bisa lagi dibedakan, keringat dan air hujan sudah
menyatu, memeluk erat tubuh yang kedinginan. Jangan, jangan sampai jatuh. Tidak
boleh! Tidak di hadapannya.
Tidak boleh terjadi di hadapan
seseorang yang kini memberiku senyuman langit. Tidak di hadapan laki-laki yang mengajakku
mendaki untuk pertama kalinya. Tidak di hadapan laki-laki yang bersamanya aku
ingin mengenal semesta.
Aku tidak punya alasan untuk
terlihat manja pun terlihat lemah di hadapannya. Aku hanya ingin terlihat kuat
dan mandiri. Dia tak harus tahu yang sebenarnya, tentang berapa obat untuk aku
bisa kuat berjalan selangkah di depannya.
Beberapa hari sebelum hari itu, lambungku
terasa linu. Hampir semua yang aku makan ku muntahkan. Aku lemas. Kata dokter,
aku harus banyak istirahat dan minum obat. Banyak sekali obat yang harus aku
minum, baik obat lambung, anti mual dan
vitamin.
Namun, malam itu aku dikejutkan oleh
ajakan seseorang. Awi, aku biasa memanggilnya. Dia ingin mengajakku ke puncak.
Mendadak sekali besok pagi harus segara meluncur. Aku tidak tahu bagaimana bisa
aku mengiyakannya. Sedang kondisiku masih lemas dan butuh banyak istirahat.
***
Pagi itu aku menunggu Awi di tempat
yang sudah kita sepakati. Entahlah, aku semangat sekali untuk mendaki. Mungkin
karena memang sudah menjadi mimpiku sedari lama bahwa aku ingin sekali mendaki gunung.
Tidak ada sedikitpun ketakutan, bahwa hari itu aku akan mendaki dengan seorang
laki-laki. Bahwa hatiku berkata Awi adalah laki-laki baik, meskipun aku
mengenalnya dari seorang teman, juga baru dua kali saja aku bertemu dengannya
setelah berteman lama di jalur udara.
“Nay,
kamu langsung ke rumah temanku saja yah, aku takut kamu menunggu lama,” pesan
dari Awi.
Aku masih bungkam mendapati pesan
itu. Aku tidak tahu, apa yang harus aku jawab. Ada sedikit kekecewaan di
batinku. Seketika itu aku ingin membatalkan niatku untuk pergi. Namun, pikirku ini
adalah kesempatan dari sebuah mimpi untuk bisa lebih dekat dengan langit.
“Aku
nggak tahu daerah sini Wi,” ku mengulang-ulang kata-kataku. “Aku harus naik apa
untuk bisa sampai ke sana?” lanjutku.
“Nay,
kamu bisa naik angkot lalu turun di persimpangan,” Awi mulai mengarahkan jalan.
“Lalu kamu naik mini bus, nanti aku tunggu di masjid menara hijau tepat di depan
jalan raya,” lanjutnya.
Itu adalah perjanjian yang terburuk
sepanjang hidupku. Tapi, entahlah aku tetap saja mengiyakannya. Dia tidak tahu
ada detak ketakutan dalam jantungku. Kecemasan dalam dadaku. Sepanjang
perjalanan aku harus meyakinkan diriku bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan
atau ditakuti. Bahwa sepanjang perjalanan aku harus bersiap untuk setiap
kemungkinan yang membuatku akhirnya kecewa. Bisa saja aku tak bertemu dengan
Awi.
Dengan dibantu kondektur mini bus,
sampailah aku di tempat Awi menungguku. Menurunkan kaki dari mini bus semakin
membuat ketakutanku menjadi-jadi. Awi belum tertangkap pandanganku. “ dimana
dia?” Gumamku dalam hati. “Awi, aku sudah sampai,” jariku sangat cepat mengirim
pesan padanya. Tak lama setelah pesan itu ku kirim, Awi berdiri tepat di
hadapanku. Tak ada kata yang ku ucapkan selain hanya tersenyum lega bisa
bertemu dengannya.
“Mau
minum?” Awi mengawali pembicaraan.
“Iya,”
singkatku. Awi langsung bergegas masuk dalam Mini Market membeli minuman untuk bekal kami di jalan.
***
Di rumah itu, nampak banyak
teman-teman Awi yang terlihat bosan menunggu. Terlihat sekali dari mereka yang
pada gluntungan di teras rumah, juga respon mereka yang sangat sedikit
menyindir setelah tahu Awi terlambat karena menjemputku.
“Hmm..
pantes aja telat,” ujar teman-teman Awi ramai
“Iya
maaf, telat,” ucap Awi dengan nada rendah. “Ayo kita berangkat,’ Lanjutnya.
Kami pun bergegas mempersiapkan
keberangkatan kami. Tak lupa kami berdo’a terlebih dahulu dan berpamitan dengan
orang tua temannya Awi.
Menit pertama perjalanan kami, aku
masih tidak menyangka bahwa hari itu aku akan hendak muncak. Teman-teman yang
baru aku temui hari ini seperti mimpi tidur siang. Aku bahagia bisa kenal
dengan teman-teman baru. Lebih-lebih mereka yang welcome sekali denganku.
Hmm menit-menit berikutnya di
perjalanan, imajiku langsung membawaku dalam pesona cantiknya alam pegunungan
yang sebentar lagi akan aku temui. Namun bayangan itu tiba-tiba punah seraya
berhentinya motor Awi. Sruttt.....!! motor Awi berhenti.
“Kenapa
Wi?,” tanyaku selidik.
“Nggak
apa-apa, bannya kempes Nay.” Jawabnya.
“Oo..
ya udah cari bengkel aja Wi,” ucapku. Dari awal berangkat kenapa yah, ada saja
halangannya.” Gumamku dalam hati.
Tak jauh dari tempat kami berhenti,
terlihat ada bengkel. Di sana Awi segera memarkirkan motornya di bengkel kecil
dekat rumah warga itu. Tak butuh waktu lama, ban motor Awi sudah terisi angin
dengan penuh. Namun sebentar saja, kami tertinggal jauh dari teman-teman.
Tertinggal
jauh dari teman-teman, Awi pun langsung gas motornya dan melesat jauh.
“Nay,
pegangan yah aku mau ngebut,” ucapnya singkat.
“Haa?!”
aku melongo mendengar apa yang dikatakan oleh Awi. Tidak mengiyakan pun
menolaknya. Hanya diam dan bingung.
Mengerikan sekali. Aku tidak
menyangka Awi bisa mengendarai motor sekencang itu. Bayangkan saja, dia
mengejar ketinggalannya dari teman-teman, sementara aku menahan ketakutan di
belakangnya. Jantungku seakan ingin copot. Memang, dia memintaku untuk berpegangan.
Tapi aku tidak melakukannya. Aahhhh ya mana mungkin aku memegangnya. Mana bisa
aku melakukannya, malu sekali. Aku tidak terbiasa berboncengan sama laki-laki, apa
lagi harus pergegangan. Dengan sesama perempuan saja tidak ada istilah naik
motor berpegangan.
Awi masih mengendarai motornya
dengan kecepatan tinggi. Membuat pesona hijaunya sawah tak sempat aku nikmati.
Sepanjang dia debut di jalan Sumedang. Aku tak pernah berhenti bersholawat. Sesekali
menahan kakiku lebih kuat untuk menopang tubuhku agar tidak sampai menempel
dengan tubuh Awi. Aku sangat takut dengan jalan yang berkelok-kelok itu, curam
dan naik turun. Tak jarang kami menemukan jalan rusak yang membuat sesak perut
kami.Namun bersamaan dengan itu aku merasa lega, ketika aroma basah puncak
gunung Tampomas sumedang sudah semakin dekat kami rasakan.
Sayang sekali, cuaca hari itu sedikit
tak bersahabat. Gerimis langsung mengepung sesampainya kami tiba di sana. Kami
bergegas meneduh di salah satu post
petugas parkir. Sembari menunggu cuaca berbaik hati dan mereda tangisnya.
Mungkin Pop mie panas paling cocok untuk
mengganjal rasa lapar kami yang dikepung hujan.
Hujan sudah berhenti, kami langsung
menuju mushala untuk melangsungkan kewajiban kami. Satu persatu para laki-laki
sholeh itu mengambil wudhu. Tak terkecuali Awi. Sayang aku tidak bisa ikut
jama’ah bersama mereka. Aku ingin sekali menjadi makmum di antara mereka. Dari
dua perempuan yang ikut muncak, keduanya berhalangan. Hmm.. Sebenarnya tidak
ada nyamannya sama sekali perpergian jauh ketika membawa tawa yang rutin datang
setiap bulannya. Belum lagi kalau sedang unmood,
terkadang tidak bisa terkontrol. Bawahannya bete terus.
***
Hmm.. Sejuk sekali melihat
teman-teman sholehku berjama’ah. Ah sungguh salah ketika ada yang beranggapan
bahwa pendaki jauh dari shalat.
Dipatahkan pada hari itu, aku melihat sendiri mereka tetap melaksanakan
kewajibannya dimanapun mereka berada. Tidak ada alasan untuk meninggalkan
shalat bukan?
Selesai sholat, kami langsung
membuat lingkaran kecil. Kami breafing
tentang apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan selama di jalur
pendakian. Kami juga dituntut untuk kompak dan saling membantu satu sama lain. Aku
pernah mendengar bahwa saat mendaki kita bisa tahu kualitas seseorang, apakah
dia baik atau tidak, itu akan terlihat saat dia mendaki. Dalam mendaki
dibutuhkan kerja sama. Karena dalam mendaki tidak boleh ada kata egois. kekompakan adalah kunci keberhasilan dalam
suksesnya para pendaki. Maka ketika ada salah satu yang kelelahan, semuanya
harus beristirahat.
Sekitar pukul 13.30 WIB kami mulai
menapaki tanah basah gunung tampomas yang baru saja diguyur hujan. Dengan penuh
hati-hati kami menelusuri jalur-jalur pendakian. Belum sampai setengah jalan,
hujan turun kembali dengan intensitas sedang, membuat kami berhenti sejenak
untuk mengenakan jas hujan yang sudah kami siapkan.
Kami melanjutkan pendakian, semakin
ke atas semakin tidak mudah. Terlebih hujan yang membuat tanah menjadi jalan
menjadi semakin licin. Kami harus ekstra hati-hati untuk bisa sampai ke puncak.
Dalam hati aku tak henti bersholawat. Berharap aku kuat dan selamat sampai
kembali dari sana
***
Ahh..
kakiku tiba-tiba menekuk. Otot kakiku rasanya ketarik semua. Kakiku keram!!!
Aku berusaha untuk mengendalikan kakiku sendiri. Namun kakiku tak kunjung
membaik. Dan rasanya hanya semakin sakit.
“Arrrghh
!!” aku mengerang kesakitan sambil
tanganku memegangi kakiku yang keram.
“Awi,
itu kaki Nayu keram,” Saut Jonas memanggil Awi. Awi pun langsung membantuku
untuk meluruskan kakiku dan memijatnya.
“Gimana,
udah baikan?.” Tanya Awi.
“Belum...” Sambil merengek ingin nangis bak anak kecil yang
minta dibelikan permen.
“Hussssttt..”
Awi mengingatkan aku dengan jari telunjuknya. “Jangan nangis Nay,” lanjutnya.
Sesaat itu aku langsung terdiam malu. Sementara Awi masih memija-mijat kakiku
yang masih keram.
“Gimana
Nay?” tanya Awi lagi.
“Mendingan
Wi makasih,” aku berusaha mencoba berdiri.
“Wi,
gendong aja,” ledek Jonas
“Aku
bawa gendong, aku bawa tas berat”. “Mau
digendong Adit?” tanya Awi memastikan.
“Nggak
usah Wi, aku bisa,”
Hmm..
lagian siapa juga siapa yang ingin digendong. Ingin disembunyikan di mana
hijabku kalau aku di gendong laki-laki.
“Haduuh..
kakiku masih sakit,” gumamku dalam hati.
Dengan kaki yang masih sedikit
keram, aku melanjutakan pendakian. Semakin sulit saja untuk sampai ke atas. Tak
jarang kami salah arah, menemukan jalan buntu, jalan yang terhalang pohon
tumbang, jatuh dan sebagainya. Kerja
sama memang sangat dibutuhkan dalam mendaki. Tidak ada yang boleh egois
sendiri. Karena sekali egois maka semua bisa dalam bahaya.
Setelah berjam-jam kami melampaui post demi post. Sampailah kami di post
5. Alhamdulillah sebentar lagi sampai di post
terakhir. Di post 5 kami niatkan
untuk istirahat yang cukup. Karena post berikutnya
semakin curam dan berbahaya. Salah sedikit saja bisa-bisa kami jatuh ke jurang.
Kami harus benar-benar mengumpulkan energi. Sesekali membuka ransel kami,
mengecek masih adakah persedian yang bisa kami makan untuk bisa menggjal
lelahnya mendaki gunung. Di post 5
juga kami banyak menemukan pendaki lain yang juga sedang beristirahat. Tak jarang
kami bertegur satu sama lain. Kami juga saling berbagi makanan. Begitulah,
mendaki mengajarkan arti berbagi dan kebersamaan.
Setelah dirasa cukup kami pun
melanjutkan petualangan. Berjam-jam di jalur pendakian. Aku dan Awi banyak
terlibat pembicaraan. Aku menikmati sekali pembicaraan dengannya. Aku merasa Awi sangat menjagaku dengan baik. Awi selalu mendahulukan aku.
Membantuku untuk bisa naik dengan uluran tangannya. Tak jarang aku melihat dia
kelelahan dengan beban berat pada ransel yang dibawanya. Itu terlihat sekali, ada
sungai-sungai kecil terbentuk di wajahnya meskipun udara cukup dingin. Hmm
kasihan sekali. Aku ingin mengusap keringatnya. Tapi.. ahhh tidak. Aku takut
salah. Aku tidak boleh bawa perasaan di gunung. Aku bersamanya murni ingin
muncak. Mungkin Awi juga hanya murni mengajak. Just it!
"Haduh... ngomong apa sih aku ini."
"Haduh... ngomong apa sih aku ini."
***
Akhirnya
kami sampai juga di puncak gunung Tampomas. Di sana sudah banyak para pendaki
yang lebi dulu sampai.
Wow!! Aku masih tidak
menyangka. Kakiku tepat berdiri di puncak gunung Tampomas dengan ketinggian
1.684 dari permukaan laut. Wuihh.. Sentuhan anginnya langsung terbang di wajahku
mengajakku menari-nari. Hijau panorama sumedang dan birunya langit di sana. Cantik
sekali. Tak hentinya aku bersyukur atas indahnya Maha karya sang pencipta Allah
SWT.
Hari itu, semesta
seraya menujukan dirinya kepadaku. Bahwa selama ini aku melewatkannya. Bahwa selama
ini aku tidak tahu apa-apa. Bahwa mungkin aku orang yang merugi. Bahwa betapa
Tuhan telah menciptakan begitu banyak keindahan alam untuk bisa dinikmati.
Bahwa dunia ini begitu luas untuk bisa aku jelajahi. Bukan hanya hidup dalam
jendela kamar dengan pemandangan yang itu-itu saja.
Terima kasih Tuhan..
atas kesempatan hingga aku bisa berada di puncak tertinggi di Sumedang, aku
merasa aku lebih dekat dengan langit, dengaMu.
“Nay,” Awi membangunkanku dari
takjub.
“Iya.”
“Nanti saja ambil gambarnya, kita
bikin tenda dulu nanti keburu gelap.” Ujarnya.
“Oo.. iya wi.”
Waktu
menunjukan pukul 17. 30. WIB. Kami pun mencari tempat untuk kami bisa segera
memasang tenda kami di sana.
“teman-teman
di sini,” suara salah satu teman Awi menunjukan tempat kosong untuk kami bisa memasang
tenda.
Tak
butuh waktu lama, kami segera meluncur ke sumber suara. Kami juga langsung
memasang tenda demi tenda untuk kami bisa bermalam di sana.
No comments:
Post a Comment