Morning My Green Campussss...
Pagi itu suasana di sekolah nampak hijau segar. Wajah cantik dan ganteng teman-teman mulai mondar-mandir di halaman sekolah. Yap! setiap paginya semua siswa memasang wajah andalannya. Hehehe Tak terkecuali Aku.
Pagi itu suasana di sekolah nampak hijau segar. Wajah cantik dan ganteng teman-teman mulai mondar-mandir di halaman sekolah. Yap! setiap paginya semua siswa memasang wajah andalannya. Hehehe Tak terkecuali Aku.
"Dor” tepukan
tangan temanku mengagetkanku dari belakang. Dengan otomatisnya kepala ku menengok
ke belakang.
“Wleee” yuyun
menjulurkan lidahnya.
“ Jelek” manyun.
“Ko nggak kaget?” tanya
yuyun.
“Niyyu...” senyum
bangga.
“BTW tumben pagi-pagi,
biasanya terlambat” ledek yuyun.
“Wah... ngomongnya kaya
buang sampah sembarangan”. Mayun lagi.
“Benar kan..? Cieee
yang sekarang ada yang jemput, jadi gak telat deh” ledek yuyun lagi sembari
berlari ke kelas..
“Wah.. ngajak ribut nih
anak” lari mengejar yuyun.
Sesampainya di kelas aku dan yuyun mendapati banyak teman-teman
yang lainnya, yang sudah stay di kelas.
Bersamaan dengan itu, panggilan untuk apel pagi mulai terdengar. Aku pun
menaruh tasku di meja. Aku dan teman-temanku langsung bergegas ke lapangan.
Disusul dengan kelas lainnya yang juga berkumpul di lapangan membentuk barisan
demi barisan. Disiplin, itulah pelajaran yang sengaja ditanamkan dari rutinitas
apel pagi setiap harinya.
Setelah sekitar 15 menit melaksanakan apel pagi, apel
pun selesai. Petugas apel membubarkan pasukannya. J Semua siswa pun menuju kelasnya masing-masing.
Kelas pun crowded. Suara pecah dalam ruangan. Namun ramai itu
seraya silent sesaat Ibu guru memasuki kelas untuk memulai
pembelajaran.
“Assalamualaikum wr.wb”
salam dari bu guru mengawali pembelajaran hari itu.
“Wa’alaikumussalam
wr.wb” suara anak kelas pun bergema memenuhi ruangan.
Sekitar satu jam
setengah pembelajaran itu berlangsung. Dan selama pembelajaran itu juga,
seringnya ku dapati Adit tertangkap basah memandangiku. Kita pun saling
berbalas senyuman. Hihihi. Tatapan matanya hangat, membuat hati meleleh bagai
es cream. Makin ku pandang wajah Adit semakin cute. Yah tak bisa
aku pungkiri Adit mempunyai wajah yang good looking. Terlebih saat
dia tersenyum. Hmmm so sweet....
Cinta memang tak bisa di tebak datangnya. Never crossed in my mind that I will fall in love with him. Yah aku tak
menyangka bisa jadi pacarnya Adit. Jika aku lihat ke belakang. It’s
impossible. Aku sama sekali tidak punya keinginan memiliki pacar
yang seumuran, apa lagi satu sekolah. Satu kelas pula, Never. Tapi bagai termakan kata-kata sendiri, aku terjebak dalam
cinta yang lucu dan lugu bersamanya. Sekolah pun kini menjadi semakin
menyenangkan. Semangat belajarpun menumbuh, merambat cepat sejak bersamanya.
Dia bukan hanya sebagai pacar, namun dia sekaligus kaka guru ku. Yang siap
menjawab pertanyaan-pertanyaan kritisku mengenai pelajaran yang tak ku mengerti.
Entahlah aku merasa termotivasi. Bagaimana tidak, dia
adalah orang yang menyakini bahwa aku bisa lebih dari dia. Dia selalu menyemangati ku untuk terus berusaha. Tapi aku pun tak
ingin di katakan karena Adit aku berubah menjadi rajin. Because I am not lazy and I am not stupid. Adit just as motivator.
*
Di awal hubunganku dengan Adit ternyata tak seindah yang ku bayangkan. Aku sering
sekali mendengar teman-teman yang membicarakan aku dibelakangku. Mereka tidak
suka hubungan ku dengan Adit. Tak terkecuali dengan teman-teman Adit yang dari dulu
tidak menyukaiku. Aku masih masih ingat sekali, betapa waktu aku duduk di kelas 10, aku terisolir. Yah aku pernah satu ruangan dengan beberapa teman Adit.
Aku tidak tahu salah ku apa hingga mereka membenci ku. Mereka membenci tanpa
mereka mencoba mengenali ku terlebih dahulu. Jangankan untuk sekedar bertegur
sapa. Untuk tersenyum pun tidak. Namun aku tak peduli dengan mereka yang tak
menyukai ku. Jika mereka menggap aku bodoh, toh aku tidak pernah minta belajar
dengan mereka. Jujur saja meski aku sekelas dengan orang yang pintar. Aku tidak
pernah minta bantuan mereka untuk mengajariku. Lulus praktek, aku susah payah
belajar sendiri. Tak seperti mereka yang lulus diajari orang-orang yang katanya
pintar. Sedangkan aku, aku bisa lulus ujian praktek ada atau tidak ada yang mengajariku.
Lulus dan gagal adalah biasa bagiku. Hmmm.. betapa aku menikmati proses. Aku
benar-benar belajar dengan gelas yang kosong. Hingga aku bisa menampung banyak air. Yah.. I proud my self.
Aku bersyukur sekali ketika naik kelas sebelas, aku
tak sekelas dengan mereka. Di kelas sebelas itu aku sungguh menjadi diriku. Tanpa
tekanan, tanpa melihat orang yang selalu membenciku, seseorang yang selalu
memandangku sinis. Aku enjoy sekali di kelas sebelas. Aku merasa inilah kelas ku
yang sebenarnya, dimana aku bisa mengeksprikan diriku. Dan ku juga bersyukur,
di kelas dua belas aku pun tak bertemu dengan teman kelas yang tidak menyukaiku
di kelas sepuluhdulu. Terlebih di kelas dua belaslah aku dipertemukan dengan Adit.
Hingga aku bisa mengenal Adit. Yah Adit adalah salah satu anggota kumpulan anak-anak yang merasa pintar dan... sedikit sombong. Oops!. Namun sejak mengenal Adit, aku ralat
kata-kataku itu. Aku salah menilai, bahwa tidak semua anak yang pintar itu
sombong. Karena Adit yang ku kenal, dia ramah, dia baik, tidak ketus dan tidak pilih-pilih teman. Dia juga tak mau pintar sendirian. Dia selalu berbagi
ilmu, dengan mengajari teman-temannya yang belum bisa. Hmm.. Aku kagum sama dia.
Mungkin itu juga yang membuat aku jatuh cinta padanya. Hikhiks.
*
Perjalanan cinta memang tak semulus jalan tol. Seperti hubungan pada umumnya, hubungan ku dengan Adit tak lepas dari masalah-masalah
yang bisa kapan saja meruntuhkan dinding-dinding keharmonisan. Tepatnya, di
waktu ujian akhir sekolah yang mana, ada salah satu teman Adit yang mengatakan
bahwa prestasi Adit menurun mesenjak berhubungan dengan ku. Mendengar itu, air
mataku tumpah ruah di pipi.
Adi yang baru keluar
dari lab langsung menghampiriku.
“Neng kenapa nangis?”
tanya Adit.
“Mereka bilang, aku
penyebab kenapa Adit tak mendapat pringkat kelas”. Sembari aku mengusap air
mata.
“Sudah neng, jangan
nangis. Biar mereka ngomong apa, jangan didengerin, yang terpenting Adit tahu,
neng nggak seperti itu. Malah Adit ngrasa lebih semangat belajar semenjak sama
neng. Adit nggak peduli mau dapat pringkat atau nggak”. Adit mencoba
menenangkan ku.
“Aku benci temen-temen
Adit”. Kesal ku.
“Jangan gitu neng, Neng
nggak boleh ngomong gitu” Adit mengusap air mata ku.
“Terus aja belain
mereka”. Emosi ku meluap.
“Bukan begitu neng..”
Adit menundukan kepalanya.
“Adit nggak ngerti
perasaan aku”. Lirihku sembari pergi meninggalkan Adit.
Dengan masih dalam
keadaan emosi. Aku pulang dengan hati remuk. Aku ingin sekali ketemu dan ku
maki-maki teman Adit itu. Kenapa mereka jahat sekali pada ku? apa salah ku
hingga aku dihujat terus-menerus. Jika selama ini aku diam, itu karena aku tak
ingin punya musuh. Aku anggap semua adalah temanku. Ini tidak fair sama sekali,
Adit sangat diterima baik teman-temanku. Namun kenapa teman-teman Adit tidak
menerima ku sebagai temannya.
Semenjak kejadian itu hubunganku dengan Adit menjadi
memburuk. Aku mendiamkan Adit hingga cukup lama. Aku ingin putus dengan Adit.
Karena mungkin benar kata mereka aku tak pantas dengan Adit. Namun Adit selalu
saja berusaha meyakinkanku. Dia tak hentinya minta maaf pada ku. Entahlah aku
Aku bingung. Tapi setelah aku berpikir keras, yah bukan salah Adit. Tidak
seharusnya Adit minta maaf atas sesuatu yang bukan kesalahannya. Dan kenapa aku
harus melukai orang yang tulus mencintaiku?. Kenapa juga aku memikirkan orang
yang membenciku. Biarlah mereka tak menyukai ku.
I never felt that I have problem with them. So whatever they said. It’s not my business. Adit knows who I am, And I know who is Adit. Adit loves me so much.
I never felt that I have problem with them. So whatever they said. It’s not my business. Adit knows who I am, And I know who is Adit. Adit loves me so much.
No comments:
Post a Comment